Etika Profesi Advokad

Etika Profesi Advokad
PENDAHULUAN

Profesionalisme tanpa etika menjadikannya “bebas sayap” dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh sayap” dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak,” (Soelaiman Soemardi: 2001). Kondisi ketergantungan tersebut pada akhirnya menempatkan etika profesi sebagai salah satu sarana kontrol masyarakat terhadap profesi, yang dalam hal tertentu masih dapat dinilai melalui parameter etika yang berlaku umum dalam masyarakat.
Salah satu profesi yang keberadaannya berhubungan erat dengan kehidupan kita semua adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan aspirasi keadilan sosial, hak asasi manusia dan demokrasi. Istilah advokat sudah dikenal ratusan tahun yang lalu dan identik dengan advocato, attorney, rechtsanwalt, barrister, procureurs, advocaat, abogado dan lain sebagainya di Eropa yang kemudian diambil alih oleh negara-negara jajahannya.
Pengertian advokat menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini. Selanjutnya dalam UU Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun demikian, meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu sama lain.
Mengikuti konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara, maka hakim sebagai penegak hukum menjalankan kekuasaan yudikatif, jaksa dan polisi menjalankan kekuasaan eksekutif. Disini diperoleh gambaran hakim mewakili kepentingan negara, jaksa dan polisi mewakili kepentingan pemerintah. Sedangkan advokat tidak termasuk dalam lingkup kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiri untuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak terpengaruh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif).
Sebagai konsekuensi dari perbedaan konsep tersebut, maka hakim dikonsepsikan memiliki kedudukan yang objektif dengan cara berpikir yang objektif pula sebab mewakili kekuasaan negara di bidang yudikatif. Oleh sebab itu, dalam setiap memeriksa, mengadili, dan menyesesaikan perkara, seorang hakim selain wajib mengikuti peraturan perundang-undangan harus pula menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Jaksa dan Polisi dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan cara berpikir yang subjektif pula sebab mewakili kepentingan pemerintah (eksekutif). Untuk itu, bila terjadi pelanggaran hukum (undang-undang), maka jaksa dan polisi diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menindaknya tanpa harus menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, setiap pelanggaran hukum (undang-undang), maka akan terbuka bagi jaksa dan polisi untuk mengambil tindakan.
Sedangkan advokat dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan cara berpikir yang objektif. Kedudukan subjektif Advokat ini sebab ia mewakili kepentingan masyarakat (klien) untuk membela hak-hak hukumnya. Namun, dalam membela hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat harus objektif menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki dan kode etik profesi. Untuk itu, dalam kode etik ditentukan diantaranya, advokat boleh menolak menangani perkara yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan kepada klien.
Profesi advokat sejak 2000 tahun yang lalu dikenal sebagai profesi mulia (Officium Nobile) dan sekarang seakan sedang booming di Indonesia. Hampir setiap orang yang menghadapi suatu masalah di bidang hukum di era reformasi ini cenderung untuk menggunakan jasa profesi advokat, mulai dari perkara-perkara besar yang melibatkan orang-orang kaya dan terkenal, seperti kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), kasus perbankan, kasusnya para artis sampai kasus yang melibatkan rakyat kecil atau orang miskin, seperti pencurian ayam, penggusuran rumah dan lain sebagainya.
Tiap profesi, termasuk advokat menggunakan sistem etika terutama untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang bisa dijadikan acuan para profesional untuk menyelesaikan dilematik etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengembanan profesinya sehari-hari. Hal senada diungkapkan oleh Bertens yang menyatakan bahwa kode etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi di dalam masyarakat. Sedangkan Subekti menilai bahwa fungsi dan tujuan kode etik adalah untuk menjunjung martabat profesi dan menjaga atau memelihara kesejahteraan para anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan kesejahteraan materil para anggotanya. Senada dengan Bertens, Sidharta berpendapat bahwa kode etik profesi adalah seperangkat kaedah prilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengembankan suatu profesi.
Sebenarnya kode etik tidak hanya berfungsi sebagai komitmen dan pedoman moral dari para pengemban profesi hukum atau pun hanya sebagai mekanisme yang dapat menjamin kelangsungan hidup profesi di dalam masyarakat. Pada intinya, kode etik berfungsi sebagai alat perjuangan untuk mejawab persoalan-persoalan hukum yang ada di dalam masyarakat. Perspektif ini pada umumnya berpengaruh pada sebagian advokat yang bergerak dalam bantuan hukum, khususnya bantuan hukum struktural. Oleh karena itu penekanan utama pandangan ini terhadap kode etik adalah bagaimana norma-norma etis didalamnya dapat memberikan pedoman kepada seorang advokat untuk memperjuangkan hak-hak sosial di tengah masyarakat yang kian kompleks.
Pandangan ini juga mungkin yang menjadi landasan dari sebagian peserta dalam menyikapi etika profesi hukum pada Musyawarah Nasional Luar Biasa Ikadin di Surabaya pada bulan Nopember 2000 dimana sebagian peserta tersebut bersikap bahwa pembersihan terhadap kotornya profesi hukum sekarang ini harus diperjuangkan melalui komitmen pembenahan dari dalam diri advokat sendiri. Hal ini juga disebabkan karena tidak adanya sistem yang mantap berkaitan dengan pembentukan dan pengembangan etika dan profesionalisme advokat.
Penegakan kode etik advokat adalah isu yang menjadi sorotan dari banyak advokat dan seluruh elemen penegakan hukum di Indonesia. Penegakan kode etik diartikan sebagai kemampuan komunitas advokat dan organisasinya untuk memaksakan kepatuhan atas ketentuan-ketentuan etik bagi para anggotanya, memproses dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan menindak anggota yang melanggar ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam kode etik.
Dengan diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, LN Tahun 2003 Nomor 49, TLN Nomor 4255, maka profesi advokat di Indonesia memasuki era baru. Suatu era yang dalam konteks ini diartikan sebagai pemacu bagi seorang calon advokat/advokat untuk lebih baik dalam memberi pelayanan hukum kepada masyarakat. Pentingnya mengetahui peran dan tugas advokad erat kaitannya dengan keberhasilan pelaksanaan dalam mengontrol kesesuaian teori dengan praktik yang dilakukan. Peran dan fungsi advokad akan dibahas pada bab selanjutnya, dengan pembahasan secara terperinci dan menyeluruh.

PEMBAHASAN

Fungsi Dan Peranan Advokat
Di dalam sistem hukum di negara kita terdapat jaminan adanya kesamaan dihadapan hukum (equality before the law) yang secara konseptual tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 1 yang berbunyi : “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya“. Oleh sebab itu bagi setiap orang yang memerlukan bantuan selain merupakan hak asasi juga merupakan gerakan yang dijamin oleh konstitusi.
Disamping itu juga merupakan azas yang sangat penting bahwa seorang yang terkena perkara mempunyai hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sehingga disinilah kedudukan profesi advokat dalam kekuasaan yudikatif dalam rangka pemberian bantuan hukum kepada masyarakat mempunyai arti yang sangat penting.Dilihat dari sudut pandang ekonomi kondisi masyarakat Indonesia adalah bukan golongan ekonomi menengah keatas, namun 60 persen adalah masyarakat rata-rata menengah kebawah (miskin), sehingga tidak mungkin mampu untuk membayar jasa seorang advokat ketika berhadapan dengan persoalan hukum.
Sejak lahirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 sebelum adanya Judicial Review bantuan hukum cuma-cuma hanya dapat diberikan oleh advokat saja. Sebagaimana ketentuannya dalam pasal 1 (2) yang berbunyi :
“Jasa hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum laian untuk kepentingan hukum klien”

Secara garis besar dapat disebutkan di bawah ini mengenai fungsi dan peranan advokat antara lain sebagai berikut:
1. Sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia;
2. Memperjuangkan hak asasi manusia;
3. Melaksanakan Kode Etik Advokat;
4. Memegang teguh sumpah advokat dalam rangka menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran;
5. Menjunjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai keadilan, kebenaran dan moralitas);
6. Melindungi dan memelihara kemandirian, kebebasan, derajat dan martabat advokat;
7. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan advokat terhadap masyarakat dengan cara belajar terus-menerus untuk memperluas wawasan dan ilmu hukum;
8. Menangani perkara-perkara sesuai dengan kode etik advokat, baik secara nasional, yakni Kode Etik Advokat Indonesia, maupun secara internasional;
9. Mencegah penyalahgunaan keahlian dan pengetahuan yang merugikan masyarakat dengan cara mengawasi pelaksanaan etika profesi advokat melalui Dewan Kehormatan Asosiasi Advokat;
10. Memelihara kepribadian advokat karena profesi advokat merupakan profesi yang terhormat. Setiap advokat harus selalu menjaga dan menjunjung tinggi citra profesinya agar tidak merugikan kebebasan, kemandirian, derajat dan martabat seorang advokat;
11. Menjaga hubungan baik dengan klien maupun dengan teman sejawat;
12. Memelihara persatuan dan kesatuan advokat agar sesuai dengan maksud dan tujuan organisasi advokat;
13. Memberikan pelayanan hukum (legal services), nasehat hukum (legal advice), konsultasi hukum (legal consultation), pendapat hukum (legal opinion), informasi hukum (legal information) dan menyusun kontrak-kontrak (legal drafting);
14. Membela kepentingan klien dan mewakili klien di muka pengadilan (legal representation);
15. Memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada masyarakat yang lemah dan tidak mampu. Pembelaan bagi orang tidak mampu, baik di dalam maupun di luar pengadilan merupakan bagian dari fungsi dan peranan advokat di dalam memperjuangkan hak asasi manusia.
Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma Oleh Advokat
Menurut Undang-udang Nomor 18 tahun 2003 tentang ADVOKAT pasal 22 ayat 1 yang berbunyi; “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kerpada pencari keadilan yang tidak mampu”, dan masalah ini juga pernah diatur dengan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01-UM.08.10 tahun 1994 tentang Petunjuk pelaksanaan program bantuan hukum bagi golongan masyarakat yang kurang mampu melalui lembaga bantuan hukum yang telah disempurnakan dengan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01-UM.08.10 tahun 1996, dalam rangka peningkatan pemerataan memperoleh keadilan dan perlindungan hukum, maka penyelenggaran dan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma bagi golongan masyarakat yang kurang mampu yang selama ini hanya melalui Pengadilan Negeri sejak tahun anggaran 1980/1981 s/d 1993/1994 maka dalam tahun anggaran 1994/1995 seterusnya dirintis juga melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) disamping melalui Pengadilan Negeri yang selama ini telah ada, sehingga pelaksanaan pemberian bantuan hukum bagi golongan masyarakat yang kurang mampu ditempuh 2 (dua) cara yaitu :
1. Pelaksanaan Bantuan Hukum melalui Pengadilan Negeri.
2. Pelaksanaan Bantuan Hukum melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH).Adapun model pemberian bantuan hukum yang ditawarkan adalah diberikan kepada tersangka yang tidak atau kurang mampu dalam :
a. Perkara pidana yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih;
b.Perkara pidana yang diancam pidana mati;
c. Atau perkara pidana yang diancam hukuman penjara kurang dari 5 (lima tahun) yang menarik perhatian masyarakat luas.
Adapun syarat untuk dapat mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma adalah Surat Keterangan tidak mampu dari seorang tersangka atau terdakwa yang disahkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atau setidak-tidaknya oleh Kepala Desa yang diketahui oleh Camat, dan apabila mengalami kesulitan dapat membuat pernyataan di atas segel dan diketahui pengadilan dan dapat pula dengan surat keterangan Ketua Pengadilan Negeri yang menyatakan tidak mampu.Sedangkan advokat yang memberikan bantuan hukum ditunjuk oleh Ketua Mejelis Hakim yang mengadili perkara yang bersangkutan setelah berkonsultasi dengan Ketua Pengadilan Negerinya. Penunjukan tersebut ditetapkan dengan Surat Penetapan Ketua Majelis Hakim dan diberikan kepada advokat yang mempunyai nama baik dan sanggup memberikan jasa hukunya secara cuma-cuma, sehingga biaya yang diberikan negara adalah sekedar penggantian atas ongkos jalan, biaya admisistrasi, dan lain sebagainya.Disebutkan pula, jika dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan tidak tersedia advokat yang dapat memberikan bantuan hukum, maka dapat ditunjuk pemberi bantuan hukum yang berdomisili dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang terdekat, atau dalam wilayah hukumnya Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.
Berkaitan dengan bantuan hukum cuma-cuma bagi masyarakat yang tidak mampu, tidak ada peraturan yang menyatakan batasan/ukuran masyarakat yang tidak mampu itu seperti apa, sebab banyak juga orang yang mengaku tidak mampu padahal dia mempunyai rumah yang layak dan sebuah toko yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Padahal hal ini sebenarnya cukup penting guna menyeleksi klien yang benar-benar berhak mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma. Jangan sampai advokat yang sudah merelakan waktu, tenaga, pikiran dan bahkan mungkin uang pribadinya demi memberikan bantuan hukum kepada klien yang bersangkutan akan menelan kekecewaan belaka setelah mengetahui kondisi ekonomi klien yang sebenarnya.Apabila mengacu pada ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang berbunyi :
“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan pada proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.” maka sebenarnya setiap pejabat yang memeriksa tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan, meliputi polisi pada tingkat penyidikan, jaksa pada tingkat penuntutan, dan hakim pada tingkat pemeriksaan di pengadilan, mempunyai kewajiban untuk menyediakan bantuan hukum, atau memastikan bahwa tersangka atau terdakwa yang diperiksa didampingi oleh seorang penasehat hukum. Bahkan menurut ayat (2) dari Pasal yang bersangkutan, yang menyatakan bahwa : “Setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimna dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma”, para advokat juga tidak luput dari kewajiban serupa, yaitu menyediakan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi tersangka atau terdakwa berdasarkan permintaan yang diajukan oleh para pejabat di lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan di atas.
Jaminan terhadap bantuan hukum tidak berkaitan dengan adanya undang-undang bantuan hukum. Ketika yang dibicarakan adalah bantuan hukum dalam konteks struktural, maka perlu juga diperhatikan upaya pengembangan kapasitas masyarakat untuk mampu menyelesaikan sendiri permasalahan hukum yang dihadapinya lewat ketentuan yang memungkinkan diterapkannya Alternative Dispute Resolution (ADR). Perlu juga diperhatikan jaminan terhadap hak masyarakat untuk mengembangkan pengetahuannya dan sikap kritis terhadap setiap produk hukum negara maupun yurisprudensi yang dihasilkan pengadilan, dengan adanya ketentuan mengenai kebebasan mendapatkan informasi, serta berbagai ketentuan lain yang akan memberi iklim kondusif bagi terselenggaranya bantuan hukum individual maupun struktural.Berdasarkan kebutuhan masyarakat akan bantuan hukum tersebut maka pengaturan bantuan hukum sebaiknya mencakup :
a. Jaminan terhadap masyarakat untuk mendapatkan akses ke peradilan formal dan untuk mendapatkan bantuan hukum yang merupakan wujud dari pelaksanaan bantuan hukum individual yang sebaiknya dilakukan oleh advokat dan dijamin oleh penegak hukum lainnya dalam setiap proses peradilan;
b. Jaminan terhadap masyarakat untuk mendapatkan pendidikan hukum sebagai wujud dari pelaksanaan bantuan hukum struktural;
c. Pengaturan mengenai koordinasi antar aparat penegak hukum dalam melaksanakan bantuan hukum;
d. Transparansi terhadap kebijakan hukum dan peradilan;
e. Pengaturan mengenai keterbukaan terhadap partisipasi masyarakat dalam mengkritisi produk hukum;
f. Pengaturan terhadap partisipasi masyarakat dalam mengkritisi prosedur dan pelaksanaan penegakan hukum;
Bantuan hukum individual lebih tertuju pada kegiatan pendampingan terhadap masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya melalui proses hukum sehingga proses tersebut berjalan sebagaimana mestinya tanpa ada diskriminasi hukum terhadap mereka. Hal ini mengakibatkan perlunya kualifikasi tertentu, yaitu sarjana hukum yang menjadi advokat, bagi pelaksana bantuan hukum individual. Sementara bantuan hukum struktural kegiatannya lebih mengarah kepada proses pemberdayaan dan penyadaran masyarakat hukum supaya mereka dapat memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar pada cara tertentu.
Bantuan hukum struktural selama tidak bersentuhan langsung dengan proses peradilan dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa harus memenuhi kualifikasi sarjana hukum sebagai advokat. Perbedaan lainnya terlihat pada target sasaran yang dituju, kalau pada bantuan hukum individual targetnya yaitu masyarakat secara individu sedangkan dalam bantuan hukum struktural targetnya adalah masyarakat dalam arti kolektif.
Pada bantuan hukum individual, ada 2 (dua) cara yang dapat digunakan supaya pelaksanaan bantuan hukum dapat berjalan dengan baik dan mencapai sasarannya yaitu :a. Memberdayakan organisasi - organisasi masyarakat / swasta yang memberikan jasa bantuan hukum seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) ataupun Biro Bantuan Hukum (BBH) yang diadakan oleh universitas-universitas, dan lain-lain. Di sini masyarakat dapat secara langsung atau melalui pengadilan meminta bantuan kepada organisasi masyarakat/swasta tersebut.b. Memberdayakan organisasi advokat. Pada model ini masyarakat dapat secara langsung atau melalui pengadilan meminta bantuan kepada organisasi advokat dimana nantinya organisasi advokat akan menunjuk anggotanya untuk membela anggota masyarakat yang tidak mampu.
Sebelum berbicara mengenai sitem penyebaran bantuan hukum, tidak ada salahnya jika kita menengok ke belakang tentang sejarah lahirnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH). LBH didirikan oleh Adnan Buyung Nasution pada tahun 1970. Adapun ide pembentukan lembaga tersebut adalah tidak lain karena pincangnya pola pembangunan di Jakarta, terutama pada awal tahun 1970. Dimana pembangunan hukum masih sangat ketinggalan, padahal pembangunan fisik berjalan sangat kencang. Sebagai akibatnya tidak jarang rakyat kecil harus menanggung kerugian akibat pembangunan fisik yang lebih didahulukan. Dimata Buyung, rakyat perlu didampingi agar hak-hak mereka tetap dapat terlindungi. Dengan dasar itulah LBH berdiri, dan karena kiprahnya yang selalu membela rakyat kecil yang tertindas namanyapun semakin berkibar dan kemudian melebarkan sayapnya hingga ke daerah-daerah dan membentuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Yayasan inilah yang menjadi payung LBH yang ada disejumlah daerah.
Selama itu juga lembaga ini tetap konsisten untuk tidak memungut biaya bagi pembelaan terhadap hak-hak rakyat miskin. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, menurut penulis dalam hal pemberian bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu sebaiknya tidak hanya dilakukan oleh LBH saja yang memang sudah menjadi tugasnya, namun perlu juga dibudayakan dikalangan advokat. Sebab apabila bantuan hukum hanya dilakukan oleh LBH hal ini tidak akan memungkinkan, karena jumlah LBH yang ada jauh lebih sedikit dari pada jumlah penduduk Indonesia. Meskipun sudah ada kententuan UU Advokat yang mewajibkan bagi para advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma, namun hendaknya peran advokat dalam memberikan bantuan hukum dimulai dari kesadaran diri masing-masing, bahwa sebenarnya profesi advokat adalah profesi yang mulia (Officium Nobile) dan disitulah salah satu letak kemuliaannya. Dalam hal pemberian bantuan hukum cuma-cuma tentunya tidak bisa lepas dari peran dan fungsi oraganisasi advokat untuk selalu memberikan dorongan dan melakukan kontrol/pengawasan terhadap kegiatan tersebut.

Pelanggaran Kode Etik
Beberapa pelanggaran kode etik yang sering dilakukan oleh advokat antara lain :1. Berkaitan dengan persaingan yang tidak sehat antar sesama advokat seperti merebut klien, memasang iklan, menjelek-jelekkan advokat lain, intimidasi terhadap teman sejawat ;
2. Berkaitan dengan kualitas pelayanan terhadap klien, seperti konspirasi dengan advokat lawan tanpa melibatkan klien, menjanjikan kemenangan terhadap klien, menelantarkan klien, mendiskriminasikan klien berdasarkan bayaran, dan lain sebagainya;
3. Melakukan praktek curang seperti menggunakan data palsu, kolusi dengan pegawai pengadilan dan lain-lain.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas seringkali terjadi karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman seorang advokat mengenai substansi kode etik profesi advokat, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Selain itu, apabila kita telaah kode etik advokat Indonesia, tidak ada pengaturan mengenai sanksi dalam kode etik advokat Indonesia sehingga hal ini juga yang merupakan hambatan pokok bagi penegakan kode etik.
Namun, bila dilihat dari sudut pandang lain, kelemahan substansi kode etik bukan berasal dari tidak adanya sanksi, tapi lebih pada ketidakmampuan norma-norma dalam kode etik tersebut untuk menimbulkan kepatuhan pada para advokat anggotanya. Bahkan dalam kode etik sebenarnya ada bagian khusus yang memuat pengaturan mengenai sanksi-sanksi yang dapat diberikan kepada advokat yang melanggar kode etik, yaitu antara lain berupa teguran, peringatan, peringatan keras, pemberhentian sementara untuk waktu tertentu, pemberhentian selamanya dan pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi. Masing-masing sanksi ditentukan oleh berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh advokat dan sifat pengulangan pelanggarannya.
Faktor lain yang menentukan efektivitas penegakan kode etik adalah “budaya” advokat Indonesia dalam memandang dan menyikapi kode etik yang diberlakukan terhadapnya. “Budaya” solidaritas korps disinyalir merupakan salah satu penghambat utama dari tidak berhasilnya kode etik ditegakkan secara efektif. Solidaritas ini lebih dikenal dengan “Spirit of the Corps” yang bermakna luas sebagai semangat untuk membela kelompok atau korpsnya. Selain semangat membela kelompok, ada faktor perilaku advokat yang dipandang lebih menonjol ketika ia menemukan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh teman sejawatnya atau oleh aparat penegak hukum lainnya, yakni budaya skeptis. Kecenderungan untuk berperilaku tidak acuh tampak jelas. Hal ini disebabkan karena berkembangnya ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan yang sudah sangat korup dan rasa segan untuk bertindak “heroik’ secara individual dalam tekanan suatu komunitas yang justru seringkali bergantung pada rusaknya sistem peradilan itu sendiri. Akibatnya, para advokat cenderung untuk berpraktek di luar pengadilan dan/atau membentuk kelompoknya sendiri.
Kendala Yang Dihadapi Advokat
Suatu negara hukum (rechtstaat) baru tercipta apabila terdapat pengakuan terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam negara hukum, negara dan individu berada dalam kedudukan yang sejajar, kekuasaan negara dibatasi oleh hak asasi manusia agar tidak melanggar hak-hak individu. Jaminan terhadap pelaksanaan HAM diperlukan dalam rangka melindungi serta mencegah penyalah gunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan kekuasaan yang dimiliki oleh negara (abuse of power) terhadap warga negaranya.
Persamaan dihadapan hukum dan hak untuk dibela advokat atau penasehat hukum adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka pencapaian keadilan sosial, juga sebagai salah satu cara mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum.
Pelaksanaan bantuan hukum sangatlah diperlukan untuk menjamin dan mewujudkan persamaan dihadapan hukum bagi setiap orang terutama fakir miskin. Hal ini juga dimaksudkan guna terciptanya prinsip “fair trial” dimana bantuan hukum yang dilaksanakan oleh seorang advokat dalam rangka proses penyelesaian suatu perkara, baik dari tahap penyidikan maupun pada proses persidangan, amat penting guna menjamin terlaksananya proses hukum yang sesuai dengan aturan yang ada, terlebih lagi ketika ia mewakili kliennya dalam beracara dipersidangan untuk memberikan argumentasi hukum guna membela kliennya.
Namun dalam pelaksanaan di lapangan bantuan hukum cuma-cuma yang diberikan oleh advokat tidaklah mudah dilakukan, banyak kendala-kendala yang dihadapi oleh advokat ketika mereka memberikan bantuan hukum tersebut.Ada beberapa kendala yang dialami oleh advokat dalam menangani kasus yang menghambat mereka antara lain bahwa kendala yang sering dihadapi ketika memberikan bantuan hukum cuma-cuma adalah kendala dana, dimana hal ini dikarenakan kondisi ekonomi klien yang tidak mampu menyebabkan advokat yang menangani perkaranya tersebut harus rela tidak mendapat uang jasa/transport dari klien, bahkan dia harus rela juga mengeluarkan uang pribadinya untuk membiayai perkara tersebut. Keadaan ini terjadi karena biaya perkara pidana yang diberikan oleh pemerintah di Pengadilan Negeri rata-rata hanya sebesar Rp. 300.000,- per kasus sering tidak sampai kepada orang yang membutuhkan. Kalaupun dana tersebut turun, biasanya hanya setengahnya saja itupun dengan prosedur pengurusan yang berbelit-belit di Pengadilan Negeri, sehingga banyak advokat lebih rela mengeluarkan dana pribadinya ketika menangani perkara prodeo dari pada harus mengurus dana prodeo dari pemerintah di Pengadilan Negeri yang berbelit-belit.
Tidak hanya itu saja terjadi para advokat, kendala yang dihadapi ketika memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma adalah kurangnya koordinasi dan dukungan dari aparat penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, hakim dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma. Hal ini dapat dilihat dari jarangnya permintaan kepada advokat oleh aparat penegak hukum baik polisi maupun jaksa untuk memberikan bantuan hukum ketika ada klien yang tidak mampu secara ekonomi dihadapkan dengan perkara pidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun lebih. Penyidik lebih suka tersangka tidak didampingi oleh advokat dan hal ini biasanya diligitimasi dengan pernyataan klien yang tidak mau didampingi oleh advokat ketika disidik, kalaupun klien tersebut mau didampingi oleh advokat, biasanya aparat penegak hukumnya yang menunjukkan sikap kurang bersahabat dengan advokat yang mendampinginya.

KESIMPULAN

Advokad mempunyai peranan yang beragam dan kompleks dalam sistim hukum yang berlaku di negara kita. Peranan itu hendaknya di singkronkan dengan etika dan tanggung jawab profesi dari para advokad yang mengacu pada nilai luhur yang dilaksanakan demi kemaslahatan umat. Negara kita adalah negara yang besar dan masih ingin lagi melakukan sejumlah besar perubahan termasuk dalam penyelenggaraan hukum yang melindungi segenap bangsa sesuai amanat konstitusi, advokad adalah salah satu elemen yang termasuk didalamnya, perubahan yang di buat para advokad kita menentukan keberlangsungan perbaikan sistim hukum dalam teori dan praktiknya/pelaksaannya.
Harapan besar tentunya tidak boleh hanya disandarkan pada advokad dan pemerintah saja, namun sinergitas para aparat penegak hukum dan akademisi perlu juga memberikan masukan-masukan yang membangun selama proses pembenahan hukum di negara kita.
Masyarakat tidak kalah mempunyai peranan yang amat besar pula, perilaku taat hukum memulai keseriusan pelaksanaan hukum menuju tertib hukum. Harapan kita ketakutan akan hukum yang disandarkan selama ini berubah menjadi kesadaran (patuh karena kesadaran bukan keterpaksaan). Semoga dalam masa-masa mendatang hukum di negara ini mampu dilaksanakan sebaik penerimaan masyarakat dan semulia tugas aparat dan pemerintahannya.

DAFTAR PUSTAKA

Hendra Winata, Frans, Advokat Indonesia, citra, idealisme dan keprihatinan, Sinar
Harapan. Jakarta. 1995.
Hendra Winata, Frans, Dimensi Moral Profesi Advokat dan Pekerja Bantuan Hukum,
www.komisihukum.go.id. 2004.
Kansil, C.S.T. dan Chirstine S.ST, Kansil, Pokok-pokok Etika Profesi Hukum, Pradnya
Paramita, Jakarta. 2003.
Karijadi, M dan R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Politeia, Bogor.
1992.
Mulya Lubis, T, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, LP3ES. Jakarta. 1986._______________, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.
_______________, Kiatab Undang-undang Hukum Acara Pidana, karya Anda. Surabaya.













Komentar