Setuju Ga? Baca Dulu :)

WACANA penghapusan pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat, tapi dipilih oleh DPRD mengundang perdebatan panjang. Bukan hanya menyangkut hilangnya proses demokratisasi, melainkan juga berkaitan dengan format ketatanegaraan.
Adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum Abdul Hafiz Anshari yang melontarkan gagasan itu, pekan lalu. Alasannya, pemilihan gubernur secara langsung selama ini hanya menghambur-hamburkan dana dan masyarakat menjadi terkotak-kotak. Apalagi, peran gubernur sejauh ini cuma menonjol di bidang administrasi.

Apa yang dilontarkan Ketua KPU itu sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto juga sudah menggulirkan wacana bahwa pemerintah, setelah mengevaluasi pelaksanaan 24 kali pemilihan gubernur pada periode 2005-2008, bakal menghapus pemilihan gubernur secara langsung. Mekanismenya, gubernur dipilih DPRD.

Gagasan lebih ekstrem bahkan sudah diusulkan Lemhannas, dua tahun lalu, yakni gubernur dipilih dan diberhentikan oleh presiden. Alasannya gubernur merupakan wakil pemerintah pusat di daerah. Sebagai perpanjangan tangan kepala pemerintahan, pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat menjadi tidak relevan.

Tetapi ada yang berpendapat sebaliknya, yaitu yang harus dikoreksi dan dibereskan justru lahirnya raja-raja kecil di daerah tingkat dua yang menyebabkan garis pemerintahan tidak berjalan efektif. Bupati dan wali kota berjalan sendiri-sendiri, tidak mau dikoordinasikan gubernur, bahkan berani membangkang terhadap gubernur karena merasa memiliki basis legitimasi kekuasaan yang sama, yaitu sama-sama dipilih langsung oleh rakyat.

Menurut jalan pikiran itu, sebaiknya bupati dan wali kota yang dipilih kembali oleh DPRD, bukan dipilih secara langsung oleh rakyat. Sebaliknya, gubernur tetap dipilih langsung oleh rakyat sehingga legitimasinya lebih tinggi dan lebih bergigi menghadapi bupati dan wali kota yang 'hanya' dipilih DPRD.

Masih banyak alasan lain.

Pertama, fakta memperlihatkan pemekaran di tingkat kabupaten/kota madya yang sudah melonjak mendekati 500 daerah tidak berimplikasi terhadap pelayanan publik. Tingkat kesejahteraan rakyat tidak berubah secara signifikan akibat pemekaran. Sebabnya tidak lain karena pemekaran lebih didorong motivasi kekuasaan ketimbang upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemekaran hanya dijadikan alat oleh elite lokal untuk meraih posisi dan keuntungan material.

Kedua, bisa menghemat sangat besar energi rakyat. Energi rakyat tidak terus-menerus dihabiskan hanya untuk urusan pilkada.

Ketiga, meminimalkan sengketa pilkada di pengadilan agar calon terpilih bisa menggunakan waktu lebih efektif untuk menjalankan roda pemerintahan. Terlebih banyak roda pemerintahan di tingkat kabupaten dan kota yang macet gara-gara bupati/wali kota pecah kongsi dengan wakilnya yang juga mencalonkan diri dalam pilkada.

Keempat, mengurangi beban anggaran dan potensi konflik. Pemilihan kepala daerah dengan demikian hanya dilakukan satu kali, yaitu di tingkat provinsi. Dana dan ongkos sosial jelas dapat diperkecil. Untuk mewujudkan semua pikiran itu sudah jelas diperlukan perubahan landasan hukum baik di tingkat konstitusi maupun di tingkat perundang-undangan. Maukah wakil rakyat di DPR dan MPR hasil Pemilu 2009 melakukannya?

Jawabannya sangat ditentukan desain politik yang hendak dimenangkan Partai Demokrat dan koalisinya yang menguasai parlemen dan pemerintahan. Jalan untuk itu mestinya menjadi lebih mudah karena kekuatan oposisi sejauh ini hanya menarik dalam wacana, tapi tidak laku dalam realitas politik.

Komentar