Penyelesaian Sengketa Tanah


Pada umumnya penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui forum pengadilan (litigasi), namun demikian bisa juga diselesaikan melalui kerangka pranata alternative penyelesaian sengketa (non litigasi).

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Forum Pengadilan (Litigasi).

Negara Indonesia sebagai suatu negara hukum berdasarkan Pancasila sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum, diperlukan suatu lembaga yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di masyarakat, baik sengketa antara masyarakat dengan masyarakat maupun antara masyarakat dengan pemerintah. Dalam negara hukum berdasarkan Pancasila lembaga yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa disebut lembaga peradilan atau lembaga yudikatif. Sementara itu dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa perkebunan melalui proses lembaga peradilan disebut sebagai proses penyelesaian sengketa litigasi.



Lembaga peradilan atau sering disebut sebagai lembaga yudikatif merupakan sebuah lembaga yang memiliki kemampuan untuk memberikan rasa keadilan dalam masyarakat manakala lembaga tersebut digunakan sebagai upaya untuk menyelesaikan engketa atau konflik. Lembaga ini merupakan tumpuan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat yang mendambakan keadilan. Pengadilan merupakan tumpuan harapan terakhir para pencari keadilan atau pihak-pihak yang bersengketa.



Peradilan adalah salah satu lembaga peradilan sebagai lembaga yang menjalankan (pelaku) kekuasaan kehakiman dan mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (yang selanjutnya disebut UU No. 48 Tahun 2009) mengatur bahwa: Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.



Lembaga peradilan merupakan sebuah lembaga yang memiliki kemampuan untuk memberikan rasa keadilan dalam masyarakat manakala lembaga tersebut digunakan sebagai upaya untuk menyelesaikan sengketa atau konflik. Lembaga ini merupakan tumpuan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat yang mendambakan keadilan. Pengadilan merupakan tumpuan harapan terakhir para pencari keadilan atau pihak-pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 mengatur bahwa Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.



Dalam memberikan pelayanan hukum dan keadilan kepada masyarakat, pengadilan mempunyai tugas-tugas utama secara normatif antara lain: pertama, memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan. Kedua, memberikan pelayanan yang baik dan bantuan yang diperlukan bagi pencari keadilan. Ketiga, memberikan penyelesaian perkara secara efektif, efisien, tuntas dan final sehingga memuaskan semua pihak dan masyarakat.



Dalam penyelesaian sengketa, lembaga peradilan mempunyai beberapa asas yang dapat ditemukan dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman, yaitu:

a. asas peradilan yang bebas dan tidak memihak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.



b. asas peradilan dilakukan demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009);



c. asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 diatur bahwa Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan;



d. asas persamaan di depan hukum atau equality before the law. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 4 (1) UU No. 48 Tahun 2009 mengatur bahwa Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.



e. asas hakim tidak boleh menolak perkara. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 diatur bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.



Sementara itu menurut A. Mukti Arto, dari aturan-aturan yang tertuang secara formal tersebut terdapat beberapa persoalan yang dilakukan lembaga peradilan dalam menyelesaikan sebuah sengketa diantaranya adalah:



a. proses penyelesaian perkara biasanya berjalan terlalu formal dan kaku sehingga kurang fleksibel dan tidak menjangkau seluruh aspek sengketa (perkara);



b. proses peradilan terkesan angker karena hanya memperhatikan aspek yuridis saja tanpa memperhatikan aspek sosiologis, psikologis dan religius yang merupakan unsur-unsur sengketa suara holistik;



c. proses peradilan berjalan lamban dan berbelit-belit, sehingga dinilai boros serta membuang-buang waktu dan biaya yang sangat merugikan pencari keadilan;



d. tidak ada komunikasi timbal balik antara hakim dan pihak-pihak. Hakim terialu mendominasi proses peradilan dan kurang memberikan kesempatan kepada para pihak untuk aktif sebagai subyek dalam proses penyelesaian sengketa. Hakim cenderung menempatkan para pihak sebagai obyek yang harus diperiksa dan di adili;



e. kebenaran dan keadilan diukur dengan pendapat, keyakinan dan perasaan hakim secara sepihak sehingga para pihak tidak bisa memahami dan menerima putusan hakim yang secara subyektif berada di luar pendapat, keyakinan, dan perasaan mereka;



f. hakim cenderung bersifat formal karena hanya memperhatikan aspek hukum yang berdasarkan doktrin atau teks hukum semata tanpa memperhatikan faktor kesadaran hukum para pihak.



g. kebanyakan perkara-perkara perdata ternyata sebagaian besar diantaranya dimintakan banding/kasasi.



Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar putusan judex factie tak diterima, oleh para pencari keadilan. meskipun perkara telah diputuskan dan putusan telah berkekuatan hukum tetap, namun ternyata sengketa yang terjadi antara pihak-pihak tidak kunjung padam, dan bahwa cenderung menimbulkan rasa dendam dan benci serta rasa permusuhan yang berkepanjangan sehingga menimbulkan ekses-ekses negatif di masyarakat dan sebagainya. Pengadilan ternyata telah gagal dalam mengemban inti dan misi serta fungsinya untuk menyelesaikan sengketa dan memulihkan hubungan sosial antara pihak-pihak yang berperkara. Untuk itulah maka perlu dicarikan solusi baru agar Pengadilan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dalam menyelesaikan perkara yang diamanatkan kepadanya, baik secara yuridis, sosiologis, psikologis maupun relegius dengan memberikan suatu putusan yang secara praktis (nyata) bersifat final dan tuntas.



Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam penyelesaian sengketa litigasi merupakan faktor-faktor penentu yang menyebabkan orang enggan menyelesaikan sengketa di pengadilan. Menghadapi situasi itulah, wajar apabila dicari solusi dan dikembangkan bentuk penyelesaian sengketa secara non litigasi melalui "extrajudicial settlement of disputes" atau disebut pula Alternative Dispute Resolution (ADR), yaitu penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan.



2. Penyelesaian Sengketa Non Litigasi atau Penyelesaian Sengketa Alternative (Alternative Disputes Resolution).



Penyelesaian sengketa non litigasi sering juga disebut dengan penyelesaian sengketa alternative (alternative disputes resolution). Alternatif penyelesaian sengketa merupakan ekspresi responsif atas ketidakpuasan (dissatisfaction) penyelesaian sengketa melalui proses litigasi yang konfrontatif dan zwaarwichtig (njelimet - bertele-tele). Thornas J. Harron mengatakan bahwa:



“…masyarakat sudah jemu mencari penyelesaian sengketa melalui litigasi (badan peradilan), mereka tidak puas atas sistem peradilan (dissatisfied with the judicial system), disebabkan cara penyelesaian sengketa yang melekat pada sistem peradilan sangat bertele-tele (the delay inherent in a system) dengan cara-cara yang sangat merugikan, antara lain: buang-buang waktu (a waste of time), biaya mahal (very expensive), mempermasalahkan masa lalu, bukan menyelesaikan masalah masa depan, membuat orang bermusuhan (enemy), melumpuhkan para pihak (paralyze people).”



Hasil penyelesaian yang diambil dalam proses ADR bukan res judicata (putusan pengadilan), namun sebagaimana diungkapkan oleh Robert N. Codey dan O. Lee Reed pada karyanya Fundamentals of the Environment of Business, ternyata masyarakat cenderung memilihnya atas alasan "much quicker, no delay, and less expensive” dibandingkan jalur litigasi. Eksistensi dan fungsi ADR pun nampak pada pengertian konseptual yang menerapkan mekanisme penyelesaian sengketa dengan mengutamakan upaya-upaya yang “creative compromise” dan ditempatkan sebagai “the first resort”, sedangkan pengadilan dijadikan sebagai “the last resort”.



Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi munculnya minat dan perhatian terhadap ADR: Pertama, perlunya menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih fleksibel dan responsif bagi kebutuhan para pihak yang bersengketa; kedua, untuk memperkuat keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa; dan ketiga, memperluas akses mencapai atau mewujudkan keadilan sehingga setiap sengketa perkebunan yang memiliki ciri-ciri tersendiri yang terkadang tidak sesuai dengan bentuk penyelesaian yang satu, akan cocok dengan bentuk penyelesaian yang lain, sehingga para pihak dapat memilih mekanisme yang terbaik. James E. Crowloot dan Julia M. Wondolleck telah memaparkan keberagaman istilah yang digunakan untuk ADR: "conflict management, conflict settlement, and conflict intervention, etc.



a. Arbitrase (arbitration).



Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dengan penyelesaian arbitrasi, berarti para pihak yang bersengketa menyerahkan sengketa kepada pihak ketiga netral yang mempunyai wewenang untuk memutuskan (arbitrator) atau dengan kata lain bahwa para pihak yang bersengketa memberikan kewenangan (penuh) kepada arbitrator guna menyelesaikan sengketa. Untuk itulah, dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka arbitrator berwewenang mengambil keputusan yang populer disebut award yang bersifat final dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang bersengketa (the decision rendered by the arbitrator is legally binding) serta memiliki kekuatan eksekutorial.



Dalam penyelesaian sengketa, arbitrase mempunyai keunggulan dan kelemahan. Keunggulan arbitrase sebagaimana yang dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam penjelasan umum tersebut dinyatakan bahwa Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain:



1) dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;



2) dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;



3) para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;



4) para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan



5) putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.



Selain kelebihan seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan. Kelemahan yang terdapat dari praktek yang terjadi adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase. Hal ini dikarenakan putusan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat seperti halnya dengan putusan pengadilan meskipun pengaturan mengenai eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional telah diatur cukup jelas.



b. Negosiasi



Bagi L. Suskind dan Denies Madigen, negosiasi adalah penyelesaian sengketa melalui perundingan langsung antara para pihak yang bersengketa guna mencari atau menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat diterima pihak-pihak yang bersangkutan. Mengenai arti penting dan manfaat negosiasi terlihat dari paparan berikut:



The importance of negotiator in law practice is further highlighted by the benefits of negotiated settlement of legal disputes from a client perspective:



a) a negotiated settlement avoids the uncertainties and vagaries of trial and appeal-settling for what is certain over what is far from certain;

b) a negotiated settlement avoids the economic costs of trial-including delays associated with trial, court costs, expert witness fees, additional discovery time lost by the parties in preparing for and attending trial, and further attorneys fees,

c) a negotiated settlement avoids social and psychological costs of trial-including anxiety and stress of trial, possible embarrassment or adverse publicity, and further damage to the relationship between the parties;

d) a negotiated settlement avoids the Wnner-take-alr nature of most legal remedies;

e) a negotiated settlement avoids the limited scope of the remedies available in court-providing an opportunity to fashion a broader package in the best interest of both parties;

f) a negotiated settlement avoids the risk of unfavorable interpretations of the law; and

g) a negotiated settlement avoids the possibility of harmful admissions or findings of fact that could be used against clients in related litigation (issue predusion).



Dalam negosiasi para pihak yang bersengketa berunding secara langsung (kadang-kadang didampingi pengacaranya masing-masing) tanpa perantaraan pihak ketiga dalam menentukan kata akhir penyelesaian sengketa. Penyelesaian sepenuhnya dikontrol oleh para pihak sendiri atas dasar prinsip "win-win". Negosiasi bersifat informal dan tidak terstruktur (tidak ada bentuk baku) serta waktunya pun tidak terbatas. Efisiensi dan efektifitas kelangsungan negosiasi tergantung sepenuhnya kepada para pihak.



c. Mediasi.



Mediasi merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan bantuan pihak ketiga netral (mediator) guna mencari penyelesaian yang dapat disepakati para pihak. Peran mediator dalam mediasi adalah memberikan bantuan substantif dan prosedural kepada para pihak yang bersengketa. Namun, mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutus atau menerapkan suatu bentuk penyelesaian. Kewenangan mediator sebagaimana dikatakan G.A. Cormick dan L.K. Patton: "terbatas pada pemberian saran”. Pihak yang bersengketa yang mempunyai otoritas untuk membuat keputusan berdasarkan konsensus diantara pihak-pihak yang bersengketa".



Pada prinsipnya, mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak penengah (mediator) yang netral dan tidak memihak serta dapat menolong para pihak untuk melakukan tawar-menawar secara seimbang. Tanpa negosiasi tidak ada yang disebut mediasi, mediasi merupakan perluasan dari negosiasi sebagai mekanisme ADR dengan bantuan seorang mediator. Christopher W. Moore dalam tulisannya Introduction to Disputes Systems design telah mengklasifikasikan tipe-tipe mediatator.



Menurut Christopher W. Moore, terdapat dua belas faktor yang menyebabkan proses mediasi menjadi efektif:



“Pertama, para pihak yang bersengketa memiliki sejarah pernah bekerjasama dan berhasil dalam menyelesaikan masalah mengenai beberapa hal. Kedua, para pihak tidak memiliki sejarah panjang saling menggugat di pengadilan sebelum melakukan proses mediasi. Ketiga, jumlah pihak yang terlibat dalam sengketa tidak meluas sampai pada pihak-pihak yang berada di luar masalah. Keempat, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa telah sepakat untuk membatasi permasalahan yang akan dibahas. Kelima, para pihak mempunyai keinginan besar untuk menyelesaikan masalah mereka. Keenam, para pihak telah mempunyai atau akan mempunyai hubungan lebih lanjut di masa yang akan datang. Ketujuh, tingkat kemarahan dari para pihak masih dalam batas normal. Kedelapan, para pihak bersedia menerima bantuan pihak ketiga. Kesembilan, terdapat alasan-alasan kuat untuk menyelesaikan sengketa. Kesepuluh, para pihak tidak memiliki persoalan psikologis yang benar-benar mengganggu hubungan mereka. Kesebelas, terdapat sumberdaya untuk tercapainya sebuah kompromi. Keduabelas, para pihak memiliki kemauan untuk saling menghargai.”



Proses perundingan melalui mediasi dikatakan ideal manakala memenuhi tiga kepuasan: substantif, prosedural dan psikologis. Kepuasan substantif (substantive satisfaction) berhubungan dengan kepuasan khusus dari para pihak yang bersengketa, misalnya: terpenuhinya ganti kerugian berupa uang, ataupun karena jalannya perundingan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif tepat. Kepuasan prosedural (procedural satisfaction) terjadi apabila para pihak mendapatkan kesempatan yang sama dalam menyampaikan gagasannya selama berlangsungnya perundingan atau karena adanya kesepakatan yang diwujudkan ke dalam perjanjian tertulis untuk dilaksanakan. Kepuasan psikologis (psychological satisfaction) menyangkut tingkat emosi para pihak: yang terkendali, saling menghargai, penuh keterbukaan serta dilakukan dengan sikap positif dalam memelihara hubungan pada masa-masa mendatang.

Komentar