Jangan nge Tweet Sembarangan

Tweet-mu, harimaumu. Mungkin inilah ungkapan yang tepat untuk Gilberto Matinez Vera, 48 tahun. Ia terancam hukuman 30 tahun penjara atas tuduhan terorisme dan sabotase setelah rangkaian tweet bohongnya mengenai penyerangan bersenjata di sekolah. Ulah pria ini menimbulkan gelombang kepanikan di Kota Veracruz, Meksiko, yang berakibat fatal.

"Terjadi 26 kecelakaan mobil, orang-orang juga meninggalkan mobil mereka di jalanan lalu berlari menjemput anak mereka di sekolah," ujar Gerardo Buganza, warga Kota Veracruz, kepada Associated Press (AP), seperti dikutip dari Yahoo News, Senin, 5 September 2011.

Selain itu, nomor telepon darurat juga rusak dan berhenti beroperasi karena tidak mampu menampung banyaknya pesan dari warga yang ketakutan.

Peristiwa ini bermula pada 25 Agustus lalu, saat penduduk kota ini merasakan ketegangan setelah sekelompok marinir melakukan konvoi di jalan-jalan Kota Veracruz. Mereka mengira akan terjadi konfrontasi antara tentara dengan geng mafia karena kota ini memang telah berminggu-minggu dilanda konflik bersenjata yang terkait dengan perdagangan narkotik.

Saat inilah Gilberto Martinez, yang bekerja sebagai pengajar di sekolah swasta, kemudian mulai mengirimkan pesan yang menyebarkan ketakutan. "Kakak iparku mengatakan ada penculikan lima anak di sekolah mereka," ujarnya dalam Twitter. Padahal penculikan ini sama sekali tidak terjadi. Ia kembali mengirim pesan di Twitter bahwa ia tidak tahu kapan peristiwa itu terjadi, namun ia mengatakan bahwa hal itu benar.

Pembela Gilberto Martinez, Claribel Guevara, mengklaim rumor ini telah ada sebelum tweet dikirim dan kliennya hanya meneruskan apa yang dikatakan orang-orang sebelumnya. Ia juga membela Martinez tidak pernah mengatakan bahwa ia orang pertama yang mengetahui peristiwa tersebut.

Sementara itu, tuduhan yang sama juga dialamatkan kepada Maria de Jesus Bravo Palgolo, seorang guru yang juga mengirimkan rumor yang sama. Namun ia mengatakan hanya meneruskan tweet yang diterimanya dari para follower-nya di Twitter.

"Bagaimana mungkin mereka melakukan ini padaku hanya karena melakukan Retweet? Maksudku, itu hanya 140 karakter. Ini sama sekali tidak logis," ujar Guevara mengutip ucapan kliennya.

Saat ini, beredar pula petisi online yang dibuat oleh kelompok Hak Asasi manusia yang menuntut pembebasan kedua orang ini. Mereka menyebut bahwa pengadilan atas keduanya terlalu berlebihan. Organisasi Amnesti Internasional juga mengatakan pengadilan telah mencederai kebebasan berekspresi dan peristiwa ini terjadi karena kepanikan massal.

"Kurangnya rasa aman menciptakan rasa tidak percaya dan rumor yang beredar di jejaring sosial merupakan bentuk usaha seseorang untuk melindungi diri mereka karena sedikit sekali informasi yang dapat dipercaya," tulis Organisasi Amnesti dalam pernyataannya. (tempo)

Komentar